Khodimul Ma’had (KH. Hasan Nuri Hidayatullah)
Nama KH. Hasan Nuri Hidayatullah atau lebih
dikenal dengan “Gus Hasan” merupakan nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan
penduduk di wilayah Karawang Jawa Barat, khususnya kecamatan Cilamaya. Kyai ini
dikenal sebagai sosok muda yang santun, cerdas, progresif dan visioner.
Walaupun usianya masih relatif muda, namun keilmuannya sangat mumpuni layaknya
kyai – kyai sepuh lainnya. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
pendidikan yang ditempuhnya baik dari lingkungan keluarga maupun pesantren
lainnya.
Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya,
begitulah pepatah yang pas untuk menggambarkan pribadi Gus Hasan. Beliau
merupakan putra hasil pernikahan KH. Ibrahim Majid, seorang kyai dari
Banyuwangi dan Nyai Hj. Sa’adatul Ukhrowiyah (Putri pendiri pesantren Manba’ul
ulum Berasan Muncar Banyuwangi). Semenjak kecil, pesantren menjadi lingkungan
yang sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian Gus Hasan. Tata laku yang
diajarkan oleh sepuh-sepuhnya menjadikannya seorang pribadi yang sangat
mencintai ilmu dan mengayomi masyarakat.
Pendidikan kecilnya dia habiskan di pesantren
Manba’ul ulum Berasan, Muncar, Banyuwangi pimpinan K.H. Iskandar (Askandar), yang
notabene kakek Gus Hasan. Sebagaimana layaknya kehidupan pesantren pada
umumnya, walaupun merupakan putra seorang kyai, serta merupakan cucunya
sendiri, Hasan dididik dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Kecintaannya
terhadap teman – temannya sesama santri menjadikan Hasan lebih memilih tinggal
di asrama santri daripada tinggal di rumah kakeknya (ndalem)-sebutan
untuk rumah kyai. Kehidupan santri yang ala kadarnya, serta jauh dari kesan
mewah.
Sikap rajin, ramah dan mudah bergaul menjadikan
Hasan banyak disenangi oleh teman-temannya. Ditambah lagi dengan kecerdasan
yang dimilikinya. Jika mendapati temannya kesulitan dalam dalam belajar, dia
tak sungkan-sungkan membantunya. Di mata mereka, Hasan menjadi tempat bertanya
tentang banyak hal. Sikap suka membantu temannya tidak hanya dia tunjukan dalam
hal-hal yang bersifat pelajaran, namun juga dalam segi materil. Dia tak jarang
mentraktir temen-temennya ketika datang kiriman bekal dari orang tuanya. Dalam pandangan
teman-temannya Hasan merupakan sosok yang suka berbagi serta tidak pelit.
Sikapnya yang demikian, tak pelak menjadikanya sebagai sosok santri yang
istimewa dimata teman-temanya. Di mana ada Hasan, disitu pasti teman-temannya
berkumpul.
Selama di pesantren dalam hal belajar al-Quran,
Hasan dibimbing langsung oleh neneknya, sedangkan dalam ilmu fiqih dia
dibimbing oleh KH. Hasan Sadzili yang notabene pakde nya. Dalam hal
ini bukan hanya nasab Hasan yang jelas, tetapi sanad keilmuannya pun terlihat secara
jentre.
Pendidikan dasar dia lalui dengan segudang
pengalaman masa kecil yang menarik. Setelah pendidikan dasar dia tamatkan.
Keingintahuannya yang tinggi terhadap lingkungan pesantren di luar daerah
kelahiranya menjadikannya dia lebih memilih melanjutkan pendidikan menengahnya
di Jakarta yakni ponpes Ashiddiqiyah Pimpinan KH. Noer Muhammad Iskandar
yang notabene paman Hasan. Pendidikan dan kehidupan Jakarta yang sangat berbeda
dengan lingkungan pesantren di Jawa Timur menjadikannya sebagai pribadi tangguh
dalam menghadapi berbagai persoalan. Corak dan kultur kehidupan Jakarta yang
kompleks sebagai muara budaya dari berbagai daerah serta sarat dengan
perbedaan dengan Jawa Timur menjadikannya luwes dalam menilai serta menyikapi
segala perbedaan yang ada di lingkungan santri.
Sikapnya yang demikian menjadikanya sosok yang
dianggap mampu membawahi organisasi siswa (OSIS) SMP. Selama menjadi pengurus
OSIS, Hasan banyak memberikan teladan bagi siswa-siswa lainya. Dia tunjukan
kepada teman-temanya bahwa organisasi bukanlah penghalang suksesnya seseorang.
Tetapi justru dengan berorganisasi maka kesuksesan yang kita dambakan akan
semakin mudah kita raih. Banyak ilmu yang tidak kita dapatkan di ruang kelas,
namun akan kita dapatkan melalui wadah organisasi.
Setelah tamat dari SMP, Hasan melanjutkan
pendidikan SMA nya di pesantren yang sama. Kesukaanya terhadap organisasi dan
kemampuanya dalam pengetahuan agama menjadikanya diamanahi sebagai ketua Rohis
tingkat SMA se-Jakarta Barat. Berbekal keuletan dan kedisiplinan yang selalu
menjadi prinsipnya, Hasan banyak menorehkan prestasi, baik dalam lomba-lomba
yang diadakan oleh pesantren maupun lembaga lainnya, di antaranya adalah Hasan
sempat menjadi juara lomba muhadloroh antar santri yang diadakan oleh
pesantrennya.
Pada tahun 1997, setelah lulus dari pendidikan
menengah Hasan melanjutkan pendidikannya di rubbat Al-Jufri Madinah yang diasuh
oleh Habib Zein bin Smith. Pilihan melanjutkan ke Madinah selain karena
kehausannya terhadap ilmu agama, juga atas dorongan keluarganya agar selain
belajar, nantinya bisa menunaikan ibadah haji.
Berbekal restu orang tua dan keinginannya
memperdalam pengetahuan agama yang begitu kuat, serta tekadnya untuk tidak
mengecewakan keluarganya, Hasan menjalani pendidikanya dengan penuh kesungguhan.
Selama mesantren di Al-Jufri, banyak masyayikh yang dia datangi untuk menimba
ilmu di antaranya Habib Zein bin Smith, Habib Salim bin Abdullah As-Syatiri dan
Syeikh Musthofa At-Turki.
Bersama beberapa temannya, dalam memanfaatkan
waktu emas selama belajar di Madinah, Hasan menunaikan rukun Islam kelima. Pada
tahun-tahun berikutnya pun dia selalu menyempatkan untuk melaksanakan ibadah
haji. Sehingga, selama 4 tahun keberadaanya di Madinah Hasan tidak hanya
mendapatkan banyak ilmu dari para masyayikh tetapi juga pengalaman yang tidak
kalah hebatnya adalah membimbing jama’ah untuk melaksanakan ibadah haji.
Sepulang dari menuntut ilmu di rubbat Al-Jufri
Madinah, pada tahun 2002 Hasan diamanahi untuk memimpin pesantren Ashiddiqiyah
3 yang berlokasi di Cilamaya Karawang. Awalnya, tugas yang diamanahkan
kepadanya, dia rasakan begitu berat. Memimpin pesantren tidak seperti membawahi
sebuah sekolah layaknya kepala sekolah. Tetapi lebih berat dari itu, memimpin
pesantren bukan semata-mata mengajarkan agar para santri menjadi cerdas dan
berilmu. Namun juga memberikan contoh dan teladan agar para santri mempunyai
karakter yang sesuai dengan nilai-nilai agama.
Atas restu dan dorongan keluarganya, tugas berat
yang diembannya tahun demi tahun menunjukan hasil yang menggembirakan. Dalam
rangka memajukan pesantren Ashiddiqiyah 3 Karawang, berbagai inovasi program
dia gulirkan. Dalam hal kurikulum pendidikan, dia memadukan ciri khas pesantren
salaf yaitu kemampuan mengusai pemahaman kitab kuning dan kurikulum pesantren
modern, yaitu penekanan terhadap kemampuan berbahasa asing. Selain itu, agar
kemampuan santri lebih komprehensif, maka pada tahun-tahun berikutnya santri
diwajibkan menghafal al-Quran.
Untuk memotivasi santri agar selalu bersemangat
dalam menuntut ilmu, Gus Hasan sering mendatangkan tokoh-tokoh dan kyai-kyai
yang bertaraf nasional maupun internasional. Pengalamannya menuntut ilmu di
berbagai pesantren dan luasnya relasi yang dia bangun, menjadikanya mudah dalam
mendatangkan tokoh-tokoh tersebut. Akhirnya seiring berjalannya waktu,
masyarakat semakin banyak yang mengenal pesantren Ashiddiqiyah 3. Bahkan lebih
dari itu, masyarakat semakin percaya bahwa pesantren Ashiddiqiyah 3 pimpinan
Gus Hasan mampu mendidik para santrinya sesuai dengan keinginan dan harapan
yang dicita-citakan mereka.
Santri-santri pesantren Ashiddiqiyah selain
dibekali ilmu-ilmu pengetahuan juga diajarkan cara-cara berwirausaha. Salah
satu kegiatan yang sering diadakan dalam upaya mengajarkan agar santri
mempunyai pengetahuan lebih terhadap dunia wirausaha adalah pelatihan
enterpreunership santri. Pelatihan ini bertujuan agar santri tidak hanya
mengetahui pentingnya berwirausaha, tetapi juga mampu memperaktekan cara-cara
berwirausaha sesuai dengan kapasitasnya. Salah satu wadah yang disediakan
pesantren sebagai pembelajaran wirausaha santri adalah dibentuknya koperasi
santri. Santri diberikan keleluasaan untuk mengelola koperasi di bawah
bimbingan para asatidz. Mereka menjual aneka jajanan, keperluan sekolah dan
lain sebagainya. Dan hasil keuntungan yang diperolehnya adalah untuk para
santri itu sendiri.
Begitupun dengan para asatidznya, koperasi
asatidz pun didirikan sebagai wadah implementasi kewirausahaan di kalangan
asatidz. Selain itu untuk memacu semangat kinerja asatidz dalam membimbing para
santri, Gus Hasan menginisiasi program pemberdayaan bagi para asatidz. Bagi
para asatidz dan guru yang berkeinginan mengembangkan wirausahanya, tentunya di
luar kewajibannya mengajar, mereka diberikan pinjaman modal tanpa agunan yang
pengembaliannya melalui cicilan yang sangat terjangkau.
Dalam rangka memfasilitasi para asatidz, Gus
Hasan juga menginisiasi program pembelian tanah dan pembuatan rumah. Tanah yang
telah dibeli dari warga sekitar, kemudian dibangunkan rumah dan diatas namakan
asatidz yang bersangkutan. Setelah rumah tersebut jadi, kewajiban asatidz
adalah mencicil rumah tersebut ke pesantren. Program ini sangat dirasakan
manfaatnya oleh para asatidz. Program demikian telah berjalan semenjak tahun
2012. Adapun beberapa asatidz yang telah terfasilitasi melalui program ini
adalah Samsul Hayat, Rosidin, Abdul Mu’in dan Eef Saefudin.
Selain program di atas, dalam upaya memotivasi
para asatidz dan guru agar selalu komitmen dengan tugas – tugasnya, Gus Hasan
memberikan reward bagi para asatidz dan guru yang berprestasi berupa umroh
gratis. Bagi mereka, setiap tahun disediakan kuota dua orang. Penilaian hal
demikian dilakukan secara transparan oleh H. Mohamad Iqbal selaku lurah
pesantren yang selama ini mendampingi Gus Hasan dalam mengelola dan memajukan
pondok pesantren Ashiddiqiyah 3 dan 4.
Dalam perjalanannya, baik program fasilitas rumah
maupun pemberian reward umroh gratis, cukup efektif dalam menjaga semangat para
asatidz dan guru dalam mengemban kewajiban-kewajibannya. Perasaan betah bagi para
asatidz dan guru mengabdi di pesantren Ashiddiqiyah 3 Karawang merupakan modal
utama yang harus dibangun. Berawal dari perasaan nyaman inilah, dedikasi dan
rasa memiliki terhadap lembaga akan muncul. Sehingga pada akhirnya rasa
tanggung jawab untuk memajukan lembaga pun terpupuk secara maksimal.
Begitu papar Gus Hasan kepada penulis.
“Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya
adalah membangun nuansa kebersamaan baik antar santri maupun asatidz di
lingkungan pesantren Ashidiqiyah. Hal ini berfungsi untuk menumbuhkan semangat
gotong royong dan kebersamaan dalam berbagai hal. Tentunya yang positif
sifatnya”, Pungkasnya.
Walaupun setiap hari Gus Hasan harus mendampingi
para santri di pondok pesantren, namun keaktifan beliau dalam NU tidak pernah
ditinggalkannya. Pada tahun 2006, Gus Hasan diamanahi sebagai wakil katib di
kepengurusan NU Jawa Barat. Selang satu tahun yakni tahun 2007, bertepatan
dengan pergantian kepengurusan PCNU kabupaten Karawang beliau terpilih untuk
mengemban amanah sebagai Rois Syuriah. Walaupun usia nya saat itu baru 29
tahun, namun para kyai yang notabene lebih sepuh dari Gus Hasan sangat bangga
dengan berbagai kemampuan yang dimiliki Gus Hasan. Dia bukan hanya fasih
dalam ilmu-ilmu agama, tetapi dalam membangun dan memberdayakan masyarakatpun
sangat mumpuni. Berbagai program dia gulirkan dalam mengemban amanah sebagai
pimpinan tertinggi di PCNU Karawang. Inovasi pendirian koperasi berbasis jamaah
majelis ta’lim serta pendirian BMT dia gulirkan dalam rangka membangun ekonomi
kerakyatan.
Pembinaan dan pendampingan menurutnya merupakan
kunci utama dalam membangun ekonomi masyarakat. “Seberapapun modal yang
diberikan kepada masyarakat untuk menumbuhkan dan meningkatkan jiwa wirausaha,
jika tidak dibarengi dengan pembinaan dan pendampingan yang kontinyu, maka
hasilnya tidak akan maksimal. Bahkan bisa jadi itu akan menjadi program
sia-sia” ujar pria yang merupakan pembina BMT Niaga Utama Karawang dalam
berbagai kesempatan ketika memberikan pembekalan tentang pentingnya ekonomi
keumatan.
Bekerjasama dengan BMT Niaga Utama Karawang, Gus
Hasan turun ke masyarakat melakukan pembinaan dan pendampingan kewirausahaan.
Masyarakat dibuat kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 10 orang yang sudah
memilki usaha atau baru akan memulai usaha. Bagi mereka yang membutuhkan
support dana untuk untuk membesarkan usahanya, disediakan pinjaman dana
per-orang maksimal sebesar 10 juta rupiah. Untuk membantu agar masyarakat bisa
bangkit dalam perekonomiannya, pinjaman tersebut bisa didapat tanpa
agunan apapun. Adapun sebagai bentuk tanggung jawabnya, pinjaman tersebut
harus mereka kembalikan dengan cara mencicil. Jika terdapat satu orang
mengalami kesulitan untuk mencicilnya, maka anggota yang lain dalam kelompok
tersebut berkewajiban memberikan support dan motivasi agar tidak menyerah dan
terus bangkit. Selain itu juga, jika salah satu dari mereka macet, maka anggota
lainnya akan tertunda untuk mendapatkan support dana kedua dan seterusnya.
Peraturan demikian tak pelak menjadikan mereka mempunyai tanggung jawab bersama
untuk sama-sama berusaha memenuhi kewajibannya secara maksimal. Dengan
demikian, semangat merekapun terpacu untuk terus maju sampai sukses.
Program demikian selain membantu masyarakat dalam
meningkatkan perekonomiannya, juga yang tak kalah pentingnya adalah memangkas
praktek para rentenir yang berkedok koperasi atau bank keliling. Beberapa
kecamatan yang menjadi pilot project program ini adalah meliputi
kecamatan Telagasari, Tempuran, Cilamaya Wetan dan kecamatan Cilamaya Kulon.
Dari tahun ke tahun program ini terus bergulir dan mendapat sambutan hangat
dari masyarakat. Mereka merasa sangat terbantu
dengan adanya program ini. Apalagi mereka bukan hanya
mendapatkan pinjaman tanpa agunan, namun lebih dari itu mereka diajari
bagaimana tata cara berwirausaha yang baik, mulai dari cara memproduksi,
mengemas sampai memasarkan produknya.
Pembinaan terhadap masyarakat dengan berbasis
ekonomi keumatan, merupakan cara efektif dalam berdakwah. Banyak masyarakat
yang awalnya enggan mengikuti pengajian karena alasan kesusahan ekonomi,
sekarang malah yang terjadi sebaliknya. Pengajian malam kamis yang digagas oleh
Gus Hasan sebagai wadah para jama’ah untuk saling bersilaturahim menjadi sangat
menarik buat masayarakat sekitar. Sehingga tak heran, jika setiap malam kamis
pondok pesantren Ashiddiqiyah 3 Karawang dibanjiri jama’ah yang mengikuti
pengajian rutinan.
Sebagai pengasuh pondok pesantren Ashiddiqiyah 3
dan 4, ketokohan pria kelahiran 25 Februari 1978 ini tidak diragukan lagi.
Namanya tidak hanya dikenal di Karawang sebagai tempat domisilinya, namun juga
lebih luas yakni di wilayah Jawa Barat. Hal ini terbukti dari terpilihnya Gus
Hasan sebagai ketua NU Jawa Barat periode 2016-2021 yang dilaksanakan di
pesantren Fauzan Garut. Amanah yang diembannya merupakan kelanjutan
kepemimpinan sebelumnya yang diketuai oleh Dr. H. Eman Suryaman, MM yang
berasal dari kota wali. Dalam hajat demokrasi rutinan NU Jawa Barat yang
dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2016, Gus Hasan terpilih sebagai ketua di
dampingi oleh KH. Muhammad Nuh Ad-Dawami pimpinan ponpes Nurul Huda Garut
sebagai Rois Syuriah PWNU Jawa Barat.
Kecintaan Gus Hasan terhadap pesantren sungguh
luar biasa. Hal demikian bukan saja karena dia dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan pesantren, namun juga karena pesantren menurutnya merupakan lembaga
pendidikan tertua yang sudah sangat terbukti dalam membangun pendidikan
berkarakter. Kalaupun sekarang ada model-model sekolah dengan label di
“modernisasi” dengan nama “Plus” atau “ Islam Terpadu (IT)” sejatinya itu hanya
adopsi kecil saja dari pola pendidikan pesantren yang sangat komprehensif.
Salah satu inovasinya dalam memimpin NU Jawa
Barat adalah, ia bertekad akan menjadikan kantor PWNU menjadi lingkungan pondok
pesantren. Menurutnya pesantren harus menjadi basis gerakan NU. Hal itu
disampaikannya saat menyampaikan sambutan usai dilantik menjadi ketua PWNU Jawa
Barat masa khidmat 2016-2021 di Pesantren Ashiddiqiyah 3 Cilamaya Karawang pada
sabtu, 17/12/16.
“Kantor PWNU Jawa Barat akan kita jadikan lembaga
pendidikan pesantren percontohan. Selanjutnya, ke depan, lingkungan sekitarnya
akan kita kembangkan menjadi lingkungan pondok pesantren” ujar menantu Kyai
Noer Muhammad Iskandar.
Lebih lanjut Ia menegaskan akan terus tiada henti
memperbaiki format pendidikan yang ada. Pendidikan sejatinya, menurut dia,
merupakan roh kemajuan bangsa. “Tentu pendidikan yang berbasis keseimbangan
antara ilmu dan akhlak, sains dan teknologi sehingga bisa memberikan kontribusi
dalam mencetak generasi yang unggul baik secara ilmu maupun kemajuan
teknologi,” pungkasnya.
Dalam mencairkan suasana politik yang selalu
melingkupi kepengurusan PWNU Jawa Barat, Gus Hasan memproporsikan bahwa
sejatinya kedudukan NU merupakan wadah dari semua kader baik itu yang memilih
berpartai PKB, PPP, PDIP, Golkar maupun lainnya. Dengan demikian, ayah empat
putra ini lebih memilih akomodatif dalam penyusunan kepengurusannya. Bukan
hanya yang berpartai PKB yang diakomodir menjadi pengurus PWNU Jawa Barat.
Walhasil dalam kepengurusan PWNU Jawa Barat masa khidmat 2016-2021, banyak dari
partai-partai lain yang diakomodir menjadi pengurus. Tentunya mereka yang
mempunyai komitmen bersama-sama dalam membangun dan memajukan NU Jawa Barat.
Jabatannya sebagai pimpinan di NU Jawa Barat
tidak lantas membuatnya menjadi tinggi hati dan besar kepala. Keta’dimannya
terhadap para ulama selalu dia tunjukan. Tradisi cium tangan terhadap kyai dan
masyaikh tak pernah hilang dari kehidupannya. Setiap kali berjumpa para kyai yang
lebih sepuh dalam berbagai acara, tanpa rasa sungkan, kyai alumni Madinah ini
bersalaman dan mencium tangan para kyai sepuh tersebut.
Tradisi-tradisi pesantren yang tertanam dalam
jiwanya sangat kuat. Humor dan joke ala pesantren selalu mewarnai
obrolannya. Apalagi jika sudah bertemu dengan KH. Hadi Hadiatullah, salah satu
wakil katib PWNU Jawa Barat. Kang Hadi, demikian panggilan sapaan akrabnya,
selain karena mengenal Gus Hasan sudah sangat lama, bahkan sudah seperti
keluarga sendiri juga merupakan teman baik dari KH. Noer Muhamad Iskandar.
Sikap humorisnya selalu dia tunjukan untuk
mencairkan suasana kaku baik itu dalam rapat-rapat maupun obrolan santai.
Sehingga muru’ahnya sebagai sosok kyai dan sekaligus sebagai ketua NU
Jawa Barat tetap terjaga.
Kesantunan dan kebersahajaan sikapnya, membuat
Gus hasan disegani oleh para pengurus lainnya. Walaupun secara usia, banyak
pengurus yang lebih tua darinya, namun mereka tetap menghormati Gus hasan
sebagai sosok ketua yang layak di tua kan. Pengetahuannya yang mendalam,
dan wawasannya yang visioner sering kali membuat banyak orang yang mendengar
ceramahnya berdecak kagum. Di usianya yang masih relatif muda, 39 tahun,
keilmuannya sangat komprehensif, di tambah lagi dengan karirnya begitu
gemilang.
Penulis sebagai salah satu pengurus NU Jawa
Barat, rutinitas bolak balik ke pesantren Ashiddiqiyah Karawang bukan merupakan
hal asing bagiku. Banyak urusan organisasi yang tidak cukup waktu diselesaikan
di kantor pada akhirnya harus diselesaikan di rumahnya. Hal inipun seringnya
tidak aku selesaikan sendiri tapi bersama kang Asep panggilan akrab H. Asep
Saefudin Abdillah (sekretaris) dan wakilnya H. Dasuki.
Setiap kali kami ke pesantren Ashiddiqiyah ,
hampir tidak pernah satu kali pun sepi dari para tamu yang mengunjunginya.
Mulai dari orang tua santri, jamaah, kerabat bahkan para kyai dari berbagai
pondok pesantrenpun sering kami jumpai di sana. Ndalem nya hampir
tidak pernah sepi. Tamu dari berbagai daerah silih berganti, datang dan pergi
seakan tak pernah habis.
Sikap hangatnya dalam menerima tamu membuat
orang-orang yang mengunjunginya merasa betah. Bahkan tak sungkan - sungkan Gus
Hasan seringkali menawarkan menginap kepada para tamunya. Usianya yang muda tak
membuatnya merasa kikuk dalam menerima tamu-tamunya. Walaupun terkadang
beberapa orang tua santri yang belum tahu, menganggap Gus Hasan sebagai santri
yang mengabdi ke kyainya, bukan sebagai pengasuh pondok pesantrennya.
Suatu ketika datang serombongan orang tua wali
santri hendak menengok putranya yang mesantren. Sebagaimana biasa, santri yang
berjaga mengantarkan mereka ke ndalem Gus Hasan. Kebetulan waktu itu
Gus Hasan dengan berpakaian “sederhana” sedang menerima tamu lainnya
di teras rumahnya, sehingga santri yang mengantarkan rombongan tersebut
langsung kembali ke tempat tugasnya. Setelah sekian lama ngobrol basa basi,
lantas ketua rombongan wali santri tersebut berkata, “Mas tolong kasih tau
ke pak kyai nya (Gus Hasan) bahwa kita mau bertemu dengan beliau”. “Di
setiap pesantren manapun, ketika saya berkunjung, saya selalu ditemui oleh kyai
nya”, lanjut ketua rombongan tersebut menjelaskan. Agak kaget juga
Gus Hasan mendengar permintaan ini, dalam hati dia bergumam, “Oh..dari tadi
berarti dia belum tahu sedang ngobrol dengan siapa”. Dengan sedikit
berbisik kepada khodimnya, Gus Hasan lantas pamit untuk masuk ke dalam
rumah. Sekitar lima menitan, khodimnya mempersilahkan ke rombongan
yang tadi, bahwa mereka sudah ditunggu oleh pak kyai di dalam rumah.
Betapa kagetnya rombongan itu, terutama ketua
rombongannya. Ternyata orang yang mereka kira santri, yang dari tadi menemui
mereka adalah Gus Hasan itu sendiri. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa
sosok Gus Hasan masih begitu belia layaknya seorang santri biasa. Dengan
tersipu malu, akhirnya ketua rombongan itu meminta maaf kepada Gus Hasan atas
sikap yang telah diperbuatnya. “Gak papa pak, saya sudah sering mengalami
kejadian seperti ini, banyak kok orang yang mengira bahwa saya santrinya Gus
Hasan”. Papar Gus Hasan. Lanjutnya, “Banyak orang tua santri mengira
bahwa Gus Hasan itu sudah sepuh, tapi ternyata anggapanya itu salah”.
Kejadian lainnya yang tak bisa membuatku menahan
tawa adalah ketika Gus Hasan bercerita bahwa suatu ketika dia diundang untuk
mengisi pengajian di luar daerah. Sebagaimana biasa Gus Hasan didampingi oleh
santri senior sekaligus ajudannya. Kang Noorjuman begitu panggilan akrabnya.
Ketika turun dari mobil, karena Noorjuman berpakaian rapi, necis, berjas,
bersepatu, maka tuan rumah menganggap bahwa Gus Hasan adalah Noorjuman. Tak
pelak jama’ah berebut menyalami dan mencium tangannya serta mempersilahkannya
duduk di depan, ditempat istimewa sejajar dengan para kyai lainnya. Sedangkan
Gus Hasan sendiri tertinggal jauh dibelakang dan pada akhirnya duduk dikursi
jama’ah lainnya. Tuan rumah dan jama’ah baru tersadar ketika saatnya Gus Hasan
naik ke mimbar untuk memberikan mauidhoh hasanah. Ternyata mereka
salah menyambut orang. Dalam anggapan mereka Gus hasan adalah orang telah
mereka sambut dan didudukan di depan berjajar dengan undangan istimewa lainnya.
Dengan hanya tersenyum simpul Gus Hasan menanggapi permohonan maaf tuan rumah
yang sudah salah memperlakukannya.
Dalam pandangan para santrinya, Gus Hasan
merupakan sosok yang kuat istiqomahnya. “Al-Istiqomah khairun min alfi
karomah” dasar inilah yang selalu ditekankan kyai muda ini kepada para
santrinya. Tutur mas Faiz, santri yang kini mengabdi sebagai ustadz di
pesantren Ashiddiqiyah 4. Salah satu bentuk istiqomah beliau adalah selain
mengajar santri, sesibuk dan sepadat apapun kegiatan yang dilakukannya, beliau
selalu istiqomah mengimami shalat magrib dan isya bersama para santrinya.
Salah satu bentuk istiqomah lainnya yang
selalu dilakukan Gus Hasan adalah melestarikan pengajian malam kamis di
pesantren Ash -Shidiqiyah 3. Al- Muhafadhatu ala al-qodimi ash-sholih wal
akhdu bil jadid al-ashlah sebagai bentuk implementasi kaidah ini, di
pesantren Ashiddiqiyah 3 Karawang tidak pernah terlewatkan melaksanakan
pengajian malam kamis. Pengajian ini selain sebagai media thalabul ilmi juga
sebagai wadah bagi jama’ah dan masyarakat sekitar untuk saling bersilaturahim.
Setelah pengajian selesai, dilanjutkan dengan program “Bedah Mushola” sebuah
kegiatan bakti sosial memberikan sumbangan untuk merenovasi mushola di
lingkungan Cilamaya dan sekitarnya. Begitu papar Kang H. Iqbal, sapaan akrab
lurah pesantren Ashiddiqiyah 3 Karawang. Program bedah mushola digulirkan
semenjak tahun 2016. Dalam implementasinya bedah mushola dilakukan satu kali
dalam sebulan. Dana yang dibutuhkan untuk realisasi program bedah mushola didapatkan
dari sumbangan jama’ah-jama’ah yang mengikuti pengajian malam kamis. Hasil
infak mingguan tersebut dikumpulkan selama satu bulan untuk kemudian
diperuntukan sebagai realisasi program bedah mushola. Antusiasme masyarakat
terhadap program ini sangat luar biasa, sehingga program bedah mushola menjadi
inisiasi program yang sangat menarik. Ketertarikan jama’ah terhadap program
ini, sedikitnya disebabkan karena dua hal yaitu: Pertama, masyarakat
diajak langsung melihat hasil infak mereka yang mewujud menjadi sebuah mushola
yang cukup representatif. Kedua, mushola yang dibedah adalah mushola
yang diajukan oleh jama’ah pengajian malam kamis itu sendiri.
Semenjak 17 Desember 2016 Gus Hasan resmi
dilantik sebagai ketua PWNU Jawa Barat oleh Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said
Aqil Siradj, MA. Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang
didirikan oleh para ulama besar yang tidak diragukan lagi kadar keilmuan dan
kewira’ianya. Di antara mereka adalah Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab
Hasbullah, dan KH. Bisyri Syansuri. Maka, dalam menahkodai PWNU Jawa Barat Gus
Hasan dalam suatu kesempatan memberikan bekal kepada para pengurus agar
membekali diri dengan tiga hal, yaitu ilmu, akhlak, dan kesungguhan.
Pertama, ilmu. Ilmu merupakan sesuatu
yang mutlak harus kita miliki dalam aktivitas mengelola jam’iyyah, agar searah
dengan nama jam’iyyah ini. Jangankan dalam mengelola sebuah jam’iyyah,
beribadah yang untuk kepentingan pribadi atau ibadah mahdlah pun posisi ilmu
adalah mutlak dan tidak bisa di tawar. Tanpa dilandasi ilmu, amal seseorang
akan tertolak.
Kedua, akhlak. Akhlak adalah kunci
kesuksesan paling utama dalam dakwah Nabi Muhammad Saw., juga para wali songo
yang menjadi cikal bakal dari lahirnya NU. Sejarah mencatat bahwa
suksesnya dakwah membawa misi Islam sedemikian rupa itu tidak di kotori
oleh cercaan, kekerasan apalagi pertumpahan darah. Perkembangan dakwah Islam
berlangsung sangatlah cepat, mengakar dengan kokoh sampai hari ini dan
insyaallah akan demikian seterusnya.
Ketiga, kesungguhan. Tidak ada
kesuksesan yang tidak diawali dengan kesungguhan. Ketiga kunci itu, sebelum
diterapkan dalam membangun NU, tentulah harus terlebih dahulu diterapkan dalam
membangun kartakter pribadi kita masing-masing. Saya sangat yakin, dengan berbekal
tiga perkara di atas dalam membangun jam’iyyah ini, baik di dalam struktur
maupun kultur, akan dapat menjadikan keberadaan NU semakin istimewa di masa
yang akan datang.
Dalam konteks kekinian, bercermin dari
periode-periode sebelumnya, munculnya polemik dalam organisasi NU Jawa Barat
itu seringkali diawali dari perbedaan pilihan para elit pengurus dalam masalah
PILKADA. Dalam hal ini untuk menjaga keutuhan bersama, Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat berkomitmen untuk mengayomi aspirasi semua
warga nahdliyin. PWNU menghargai sepenuhnya aspirasi politik jamaah yang
beragam di berbagai partai politik. PWNU sangat berharap semua politisi
nahdliyin dapat memperjuangkan kepentingan umat melalui partainya
masing-masing.
Demikian beberapa poin penting yang menjadi
kebijakan Ketua PWNU Jawa Barat KH. Hasan Nuri Hidayatullah dalam upaya menjaga
keharmonisan ditubuh NU Jawa Barat. Semoga.(AK)
Tidak ada komentar: