HIKMAH

[Hikmah][bleft]

SANTRI

[Santri][bsummary]

BERITA

[Berita][twocolumns]

UMRAH AYAH DAN KEPUTUSAN PRESIDEN

Hamdan. Ia adalah seorang santri asal Garut yang jenius dan patuh terhadap orang tuanya. Walaupun terbilang masih muda, ia selalu mengikuti berbagai perlombaan setiap tahun di berbagai daerah. Banyak para guru dan ustadz-ustadz pondoknya yang kagum terhadapnya. Di usia lima belas tahun ia sudah mampu membaca berbagai kitab yang sulit dengan tanpa harokat. Di pondoknya pun berjejer piala-piala kedigdayaan kelebihan yang ia miliki. Lomba Qiro’atul Kutub, Insya, Khithobah, kaligrafi dan Debat Bahasa Inggris pun ia taklukan. Semuanya tembus hingga tingkat nasional, hanya kligrafi saja yang tertahan di tingkat provinsi, juara ke dua. Semua orang bangga dengan prestasi yang dimilikinya. Kecuali ayahnya, ia sangat tidak suka hamdan memamerkan kemampuan-kemampuannya. Setiap Hamdan mendapatkan juara, ayahnya selalu menghindar untuk sekedar memberikan ucapan selamat. “ayah mah teu ridho kamu ngikut-ngikut lomba-lomba nu kitu!” (Ayah tidak ridho kamu ikut lomba-lomba seperti itu) begitulah yang selalu ayahnya ucapkan pada Hamdan.
Hari itu Hamdan mengikuti lomba Qiro’atul Kutub tingkat nasional di Jakarta, mewakili Jawa Barat. Dalam lomba itu setiap peserta harus bisa membaca tepat setiap huruf dan harokat kitab Ihya ‘Ulumuddin serta menjelaskannya. Bagi Hamdan, itu sangatlah mudah. Namun, saat meminta izin ke ayahnya perihal lomba itu. Ayahnya tetap melarang dan tidak setuju dengan perlombaan itu. Padahal, hadiah juara satu adalah umroh bersama Bapak Presiden RI.
Hal tersebut menjadi beban batin bagi hamdan. Bagaimanapun, tujuannya mengikuti lomba adalah untuk membahagiakan ayahnya. Ya, hanya ayahnya. Karena ibunya telah wafat saat hamdan duduk di kelas dua Madrasah Ibtidaiyah. Namun, karena banyak desakan dari berbagai pihak, termasuk Gubernur Jawa Barat. Ia terpaksa menerima lomba tersebut.
“Dan, kunaon ngelamun wae?” (Dan, kenepa melamun saja) tanya pembimbingku Pak Ardan, Alumni Ponpes Lirboyo.
heun…heunteu pak, cuma lagi doa weh. Biar nanti menang “ (Tii... tidak pak, Cuma lagi doa saja, biar nanti menang) Hamdan menyunggingkan senyumnya, menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Karena memang tidak pernah ada yang tahu masalah Hamdan tersebut.
            Saat namanya dipanggil, ia maju kedepan dan duduk di panggung perlombaan. Dibacakanlah oleh Juri, bab serta halaman berapa yang harus ia baca. Namun, ia terdiam. Terbayang wajah ayahnya yang sedari tadi menyita pikirannya. Semua juri terheran-heran melihat sikap tak biasa Hamdan ini. Tapi, apalah daya. Rasa baktinya kepada ayahnya memenuhi hati dan pikirannya. Satu menit sudah ia tidak membaca apapun. Hanya menunduk menatap baris-baris karangan karya Imam Ghozali itu.
            Saat ia mendongakkan kepalanya. Ia melihat sang ayah berdiri di depan panggung, tersenyum padanya, begitu tulus dan berkata “ teruskan nak, maafkan ayah yang terlalu memaksakan kehendak ayah padamu” . Hamdan pun tersentak tak menyangka apa yang ia lihat dan dengar itu.
            Seketika itu, ia langsung membaca bab dan halaman yang di perintahkna oleh juri tadi. Lancar, tegas, padat dan jelas. Setelah juri menekan bel tanda berhenti membaca, Hamdan turun dari panggung dan terdengar tepuk tangan pecah meriah. Hamdan langsung berlari menuju ayahnya dan memeluk erat ayahanda tercintanya itu.
“ayah, maafkan aku yang gak nurut sama ayah” ucap Hamdan terbata-bata dihiasi butiran air mata yang menetes lembut menyebrangi pipi sampai di dagu dan terjun ke pundak sang ayah. Sang ayah pun mengeglus-elus rambut ikal Hamdan, bangga akan kepiawaiannya membaca kitab. “ kata siapa nak? Ayah bahagia punya pejuang hebat seperti kamu” jawabnya lembut.
            Keduanya duduk bersebelahan. Ayahnya bercerita perihal kedatangannya ke Jakarta yang tiba-tiba itu. “ tadi pas kamu berangkat, mbah Zaenal kyai ayah baheula (dulu) datang ke rumah dan langsung mengatakan bahwa apa yang kamu lakukeun (lakukan) ini teu (tidak) salah, justru ayah harusnya bangga sama kamu” ia berhenti sejenak, menghela nafas dan kembali melanjutkan “ ya, tanpa pikir panjang, ayah langsung kesini nemuin kamu” ia tersenyum dan mengusap air mataku, yang sedari tadi bermuara di pipiku itu.
            Pengumuman pemenangpun diumumkan. Seluruh peserta, pembimbing, juri, pejabat-pejabat negara, termasuk Bapak Presiden pun terlihat hadir, duduk di kursi vviv. Hamdan tak sabar ingin mengetahui siapa yang akan mendapatkan kesempatan umroh gratis bersama orang nomer satu di indonesia itu.
“pemenang Musabaoh Qiroatul Kutub tingkat nasional tahun 2017 di posisi pertama dimenangkan oleh…” sang Mc sengaja mendramatisir acara dengan menghentikan sejenak pengumumannya itu.
“oleh….Muhammad alamudin delegasi Sulawesi Utaraaaaa….” Tepuk tangan pun serentak memenuhi sudut-sudut aula gedung Kemenag itu. Hamdan  menangis tersedu-sedu, tak percaya akan hasil ini. Padahal yang ia amati, dialah yang paling lancar dan bagus. Ayahnya berusaha menenangkannya “udah nak, ayah udah bangga kamu tiasa masuk nasional juga” “maafin abdi (saya) ayah…” Hamdan masih sedikit menyesali hasil itu.
            Namun, di depan sana. Salah satu panitia lomba maju ke meja Mc. Mereka berbisik-bisik. Hamdan tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Lalu Mc kembali bersuara “maaf maksud kami pemenang  MQK tahun ini adalah Hamdan Dzur-rohman delegasi jawa Baraaattt” seketika Hamdan meloncat memeluk lagi ayahnya, dan semua kontingen Jawa barat pun memeluknya. Hamdan maju ke panggung dan Bapak Presidenlah yang memberikan hadiahnya.
Hamdan di berikan kesempatan untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Ia mengambil mic “pertama, aku bersyukur kepada Allah yang telah mengizinkanku memenangi lomba ieu (ini). Kedua, sebagai tanda terima kasihku dan tanda sayangku kepada ayahku, aku persembahkan umroh ieu untuk ayah…” ayahnya di persilakkan ke atas panggung dan langsung memeluk Hamdan. Keduanya menangis bahagia, para hadirin yang hadir ketika itu pun terharu dan bahkan ada yang menangis .  sebelum ayahnya berucap, hamdan mendahuluinya “ itu untukmu ayah”. Bapak Presiden pun tersentuh dengan kejadian itu. Dan mengatakan bahwa yang berangkat umroh bersamanya bukan Hamdan saja atau ayahnya saja, tapi keduanya.

Tidak ada komentar: